PARTISIPASI PEMILU DAN PENDIDIKAN KARAKTER

Jumat, 18 September 2020 - 12:31:59 WIB
Dibaca: 743 kali

PARTISIPASI PEMILU DAN PENDIDIKAN KARAKTER

Oleh: Dr. Tri Yuliyanti, M.Si

Demokrasi modern adalah demokrasi perwakilan. Partai-partai politik memainkan peranan penting dalam proses perwakilan, jika mereka gagal memainkan peranan ini maka seluruh bangunan besar itu pun retak. Prioritas-prioritas kebijakan dari berbagai pemerintah dalam demokrasi modern mencerminkan program-program formal yang dikemukakan oleh partai-partai politik yang bersaing selama pemilu. Kongruensi antara janji dan tindakan merupakan inti dari maksud demokrasi perwakilan.  Dalam demokrasi perwakilan pemilu sebagai media untuk menempatkan wakil partai dalam negara.

Berbagai dampak dari setiap penyelenggaraan  pemilu yang terus terjadi di masyarakat perlu disikapi dengan sangat cermat, agar tidak berdampak negatif terhadap tatanan kehidupan bermasyarakat sehingga tidak mengubah karakter baik yang sudah tertanam dalam diri anak bangsa. Terkait itu konsep ideal dari sistem demokrasi harus betul-betul dilaksanakan dan dipelihara dalam setiap pelaksanaan pesta demokrasi (pemilu). Selain itu pemahaman yang benar dan komprehensif tentang demokrasi harus dikuasai agar tujuan dari pelaksanaan demokrasi yang sesungguhnya bisa dicapai sesuai dengan harapan tanpa ditumpangi oleh kepentingan segelintir atau sekelompok orang yang mencari keuntungan pribadi atau golongan.

Tidak bisa dipungkiri dalam realita tatanan kehidupan saat ini yang katanya sudah berada dalam alam demokrasi, sering terjadi gesekan-gesekan antar masyarakat dengan dalih demokrasi dan kebebasan berekspresi. Dengan dalih ini pula masyarakat dengan bebas mengungkapkan pendapat, berekspresi, berserikat dan lainnya yang terkadang diluar batas kewajaran, sehingga sampai melebihi batas kewenangan yang seharusnnya mereka lakukan. Kejadian ini tentu sangat mengganggu harmonisasi kehidupan yang seharusnya saling menghargai dan saling menghormati sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing.

Praktik-praktik menyimpang dari sistem demokrasi yang dilakukan oleh sebagian orang demi untuk mencapai tujuan dan memenuhi kepentingannya secara praktis adalah salah satu faktor pemicu adanya gesekan yang terjadi antar warga, dimana sebagian kelompok yang tidak menerima perlakuan tidak semestinya akan melakukan perlawanan yang mungkin caranya lebih buruk dari yang dilakukan oleh kelompok yang dianggap sebagai lawannya tanpa memperhatikan akibat negatif yang akan terjadi akibat perbuatannya. Perilaku-perilaku negatif yang terjadi akibat dari pelaksanaan demokrasi melalui Pemilu yang mengubah tatanan kehidupan bermasyarakat ini perlu disikapi dengan dengan baik agar tidak menyebar dan mengakar sehingga mengubah tatanan kehidupan yang selama ini sudah berjalan dengan baik. Dalam jangka waktu yang panjang perilaku-perilaku tersebut kalau tidak diantisipasi akan menjadi karakter dan mengubah tatanan kehidupan yang sudah berjalan.

 

Pemilu dan Pendidikan Karakter di Indonesia

Melalui Reformasi1998, bangunan politik Orde Baru yang monolitik ditumbangkan dan pintu bagi proses demokratisasi serta penegakan hak asasi manusia dibuka. Gelombang reformasi tersebut telah memecah konsentrasi kekuasaan satu polar menjadi beberapa polar kekuasaan yang dibangun di sekitar tokoh yang berpengaruh sebagai embrio partai yang memegang peranan penting pada era reformasi.  Reformasi baru berhasil menyelenggarakan pemilihan umum, tapi belum berhasil mewujudkan hakekat demokrasi yakni :

    1. Belum ada kongruensi antara janji dan tindakan.
    2. Pemilihan umum yang demokratis belum sanggup untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kehendak masyarakat luas.

 

Terkait itu pemilu yang masih sebatas menjadi ajang pertarungan kekuasaan para elite (yang pada umumnya berwatak tuna-ideologi dan sekaligus tuna-etika) bukanlah ranah yang kondusif untuk mendidik karakter bangsa. Agar pemilu dapat menjadi instrumen untuk melakukan pendidikan karakter, maka pemilu itu sendiri harus terlebih dahulu mempunyai “karakter,” dalam arti dapat mewujudkan kongruensi antara “janji dan tindakan”.  Disamping itu lembaga-lembaga yang terbentuk melalui pemilu harus sanggup menghasilkan kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kehendak masyarakat luas.

Para elektokrat jangan menasbihkan diri menjadi bangsawan-bangsawan baru yang menuntut hak-hak istimewa sebagai orang-orang yang terpilih. Dulu, era orde baru punya teknokrat yang karena keahliannya dapat begitu saja “mengerti” kebutuhan rakyat, dan pada masa orde reformasi sekarang punya elektokrat yang karena dipilih merasa dengan sendirinya “mengerti” kepentingan rakyat. Berkaca dari hal tersebut mungkin cara yang baik ialah  membuka dialog dengan mendengarkan protes-protes dari masyarakat. Output nya harapan  terbangunnya pemilu yang ber“karakter” dengan sendirinya akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu. Ada pepatah menyatakan bahwa ” hati-hatilah dengan kebiasaanmu, karena itu akan menjadi karaktermu dan hati-hatilah dengan karaktermu, karena itu akan menjadi nasibmu”.


Untag Surabaya || FISIP Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya